KEDIRI, suarajatimonline-Sekolah-sekolah yang berada di kawasan perbukitan kerap menghadapi tantangan tersendiri. Selain akses jalan yang sulit, jumlah peserta didik yang minim menjadi persoalan menahun. Salah satunya terjadi di SD Negeri Parang 4, yang terletak di Desa Parang, Kecamatan Banyakan, Kabupaten Kediri. Sekolah ini berdiri di lereng Gunung Wilis, sekitar 13 kilometer dari pusat Kecamatan Banyakan.
Sekilas, jaraknya mungkin terdengar tidak terlalu jauh. Namun, karena medan yang penuh tanjakan dan tikungan curam, serta kondisi jalan yang belum seluruhnya beraspal, waktu tempuhnya bisa lebih dari 25 menit. Hal ini membuat sekolah tersebut sulit dijangkau dari daerah perkotaan maupun dataran rendah. Tak heran, muridnya hanya berasal dari dusun sekitar sekolah.
“Memang muridnya dari lingkungan sekitar saja. Anak-anak dari Dusun Parang dan Peso,” ujar Sugeng Hariyadi, Kepala SDN Parang 4. Ia menambahkan, walaupun sekolah ini terbuka untuk semua siswa, jarak dan akses yang sulit membuat hanya warga sekitar yang menyekolahkan anaknya di sana.
Desa Parang sendiri memiliki lima sekolah dasar. Namun, semuanya menghadapi persoalan serupa: jumlah siswa yang sedikit karena jumlah penduduknya juga tidak banyak. Saat ini, SDN Parang 4 hanya memiliki total 82 siswa. Beberapa ruang kelas bahkan tak terpakai karena kekurangan murid.
“Di bagian atas bangunan sekolah ada lima kelas, tapi hanya satu yang kami gunakan,” jelas Lilian Puspa Sari, guru kelas VI. Menurutnya, ruangan itu tetap difungsikan agar ada aktivitas perawatan seperti menyapu halaman.
Pemerintah daerah sempat merencanakan penggabungan SDN Parang 4 dengan SDN Parang 5 pada tahun 1980. Namun, rencana tersebut mendapat penolakan keras dari warga. Orang tua murid tidak setuju karena khawatir anak-anak harus menempuh perjalanan yang lebih berat dan berbahaya.
“Waktu itu, wali murid protes. Anak-anak pun akhirnya malas berangkat sekolah. Medannya berat, naik-turun gunung, jalannya licin dan curam,” terang Sugeng.
Selain kekurangan siswa, sarana dan prasarana di sekolah ini juga jauh dari kata memadai. Fasilitas digital seperti laptop terbatas, dan sinyal internet kerap bermasalah. Guru-guru harus mencari lokasi yang memiliki sinyal cukup kuat hanya untuk melakukan absensi atau kegiatan daring lainnya.
Claire Baldea Aurora, siswi kelas enam, juga merasakan langsung keterbatasan itu. “Laptopnya lemot, sinyal juga sering hilang. Tapi saya tetap pilih sekolah di sini karena dekat. Kalau dijemput lama, saya bisa pulang jalan kaki,” ujarnya.
Cerita serupa terjadi di SDN Medowo 3, Desa Medowo, Kecamatan Kandangan. Sekolah ini berdiri di ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut, tepat di punggung Gunung Anjasmara. Jumlah siswanya bahkan lebih sedikit—hanya 46 orang di tahun ajaran 2024/2025.
“Dulu masih sempat dapat 20 murid baru. Tapi sejak 2014 terus menurun,” kata Eko Prasetyo, Kepala SDN Medowo 3. Penyebabnya, di desa tetangga di wilayah Jombang berdiri sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI), yang lebih banyak dipilih oleh warga setempat, terutama yang beragama Islam.
Warga Dusun Ringinagung dan BON G yang menjadi siswa SDN Medowo 3, tidak punya banyak pilihan. Sekolah lain terlalu jauh, dan medannya pun tak bersahabat. “Jalan sudah dipaving, tapi tetap curam dan diapit ladang,” kata Kartini, salah satu orang tua murid.
Menanggapi kondisi ini, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kediri, Mokhamat Muhsin, membenarkan bahwa masih ada beberapa sekolah yang berada di daerah pelosok dengan jumlah murid yang sangat minim.
“Sekolah-sekolah seperti SDN Kalipang 2, SDN Simbarlor 2 Plosoklaten, dan SDN Blimbing 3 Mojo memang letaknya terpencil. Karena wilayahnya sulit dijangkau dan jumlah penduduknya sedikit, otomatis siswanya pun tak banyak,” jelas Muhsin.
Ia menambahkan, kehadiran sekolah-sekolah ini tetap penting karena melayani komunitas-komunitas kecil yang tinggal jauh dari pusat kota. “Justru keberadaan sekolah ini adalah bentuk pelayanan pendidikan untuk wilayah terpencil,” tegasnya.(Red.R)
0 Comments