Malang, suarajatimonline – Dahulu kita percaya bahwa pendidikan adalah jembatan menuju masa depan, dan keluarga adalah benteng pertama pembentuk karakter. Dalam keyakinan itu pula, negara diyakini hadir bukan hanya sebagai pengatur, tetapi sebagai penjaga harapan dan penuntun arah. Namun, kisah di Bukit Duri menjadi pengingat bahwa realitas seringkali berjalan tak seindah idealisme.
Melalui narasi "Pengepungan di Bukit Duri", kita diajak membaca ulang makna pendidikan dalam lanskap sosial yang terus berubah. Bukan sekadar soal ruang kelas atau kurikulum, tetapi bagaimana sistem pendidikan kita bersentuhan langsung dengan ketimpangan, penggusuran, dan kebijakan yang kerap tak memihak mereka yang termarjinalkan.
Bukit Duri—yang pernah menjadi simbol perlawanan terhadap penggusuran—menjadi latar tempat di mana anak-anak berjuang mengejar ilmu di tengah ketidakpastian. Di tempat itulah, pendidikan tak hanya menjadi hak, tetapi juga bentuk perlawanan paling sunyi terhadap ketidakadilan.
Tulisan ini mengajak kita menelisik lebih dalam: apakah negara benar-benar hadir dalam kehidupan mereka yang terpinggirkan? Apakah janji wajib belajar, perlindungan anak, dan kesejahteraan keluarga sudah menjangkau mereka yang tinggal di pinggir rel dan bantaran sungai?
Bukan hanya tentang Bukit Duri, tetapi tentang kita semua—tentang bagaimana kita memaknai pendidikan bukan sekadar angka partisipasi sekolah, tetapi juga sebagai ruang tumbuh, bermimpi, dan merasa aman.
Melalui kisah ini, kita diingatkan bahwa membangun pendidikan berarti membangun keberpihakan. Dan keberpihakan sejati adalah ketika negara tidak hanya hadir di ruang rapat, tapi juga di lorong sempit tempat anak-anak mencoba menyalin masa depan dari balik dinding rumah semi permanen.(Red.R)
0 Comments