Kediri , suarajatimonline – Praktik tata kelola pemerintahan desa kembali tercoreng. Di Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, masyarakat dihebohkan dengan dugaan praktik kotor dalam proses pengisian dua posisi penting perangkat desa, yakni Kepala Dusun Pojok dan Kepala Dusun Selodono. Laporan warga dan sejumlah aktivis menyebutkan adanya indikasi kuat bahwa kedua jabatan tersebut diperoleh melalui jalur transaksional, bukan lewat seleksi berdasarkan kompetensi sebagaimana amanat peraturan perundang-undangan.
Sejumlah narasumber menyatakan bahwa calon yang berhasil dilantik diduga telah menyerahkan dana dalam jumlah besar, dengan nominal bervariasi dari Rp50 juta hingga Rp150 juta, kepada oknum tertentu yang diduga terlibat dalam proses pengangkatan.
“Ini bukan lagi rahasia umum. Warga banyak tahu bahwa jabatan perangkat desa kini bisa dibeli, dan ini menyakitkan bagi kami yang berharap pemerintahan desa berjalan dengan jujur,” kata Sutarman, warga setempat.
Pengangkatan dua kepala dusun tersebut juga disorot dari sisi transparansi. Berdasarkan keterangan masyarakat, tidak ada pengumuman terbuka mengenai tahapan seleksi, tidak diketahui siapa saja yang mendaftar, serta tidak dilakukan tes terbuka sebagaimana mestinya.
“Biasanya ada seleksi tertulis, wawancara, bahkan pengawasan dari kecamatan. Tapi kali ini semua seolah disembunyikan,” kata Lestari, tokoh perempuan desa.
Aliansi masyarakat sipil di Kediri telah melaporkan kasus ini ke berbagai pihak, termasuk Inspektorat, DPRD Kabupaten Kediri, serta berencana membawa kasus ini ke ranah hukum melalui Kejaksaan Negeri dan Ombudsman Jawa Timur. Mereka menilai praktik ini sebagai bentuk nyata korupsi di tingkat akar rumput yang jika tidak diberantas, dapat merusak seluruh tatanan demokrasi di desa.
Ahli hukum tata negara dari Universitas Brawijaya, Dr. H. Subagyo, SH, M.Hum, menjelaskan bahwa tindakan seperti ini termasuk dalam ranah pidana korupsi dan gratifikasi. Ia menekankan bahwa siapa pun yang terbukti memberi atau menerima suap untuk jabatan publik, dapat dikenai sanksi berat sesuai hukum.
“Ini bukan pelanggaran administratif semata. Ini adalah kejahatan terhadap sistem negara. Jika kepala dusun memperoleh jabatan dengan menyuap, maka pengambilan keputusannya di masa depan akan rawan korupsi juga,” tegasnya.
Menurutnya, pembiaran atas praktik ini akan memperparah degradasi moral dalam sistem pemerintahan desa dan menjadikan jabatan publik sebagai komoditas, bukan amanah.
Apabila dugaan ini terbukti benar, maka pihak-pihak yang terlibat berpotensi melanggar:
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
Pasal 5 Ayat (1): Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya.
Pasal 12 huruf e: Penyalahgunaan kekuasaan dalam jabatan untuk menerima gratifikasi.
Pasal 3: Menyalahgunakan kewenangan yang merugikan keuangan negara.
Pasal 421 KUHP:
Melarang pejabat publik melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan masyarakat.
Permendagri Nomor 67 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa:
Mengharuskan proses seleksi dilakukan secara transparan, objektif, akuntabel, dan berdasarkan kompetensi.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa:
Menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa wajib melibatkan partisipasi masyarakat dan menjunjung tinggi prinsip keterbukaan.
makin menguat. Warga meminta Pemerintah Kabupaten Kediri untuk mencabut SK pengangkatan jika terbukti cacat prosedur, serta memberikan sanksi administrasi maupun pidana kepada para pelaku.
“Kami minta jangan tutup mata. Kalau ini dibiarkan, akan menjadi contoh buruk bagi desa-desa lain,” ujar Andika, perwakilan pemuda desa.
Kasus ini diharapkan menjadi momentum bagi pemerintah daerah untuk melakukan evaluasi total terhadap sistem rekrutmen perangkat desa dan mendorong pengawasan independen dalam setiap tahapan seleksi jabatan publik di tingkat desa.(Red.Tim)
0 Comments