Surabaya, suarajatimonline - Meski jumlahnya semakin berkurang, penjual jamu tradisional masih dapat ditemui di berbagai sudut Kota Surabaya. Dulu dikenal sebagai tukang jamu gendong karena membawa jamu dagangan mereka di punggung, kini para penjualnya telah beralih menggunakan gerobak dorong, sepeda kayuh, hingga motor.
Pegiat sejarah Kota Surabaya, Nur Setiawan, menjelaskan bahwa pada mulanya tukang jamu menetap di pasar-pasar tradisional tanpa perlu berkeliling. Namun, kebutuhan masyarakat yang sulit menjangkau pasar tradisional memunculkan profesi tukang jamu keliling.
“Mungkin karena masyarakat kala itu banyak menderita sakit sehingga tidak bisa datang ke pasar, maka tukang jamu gendong keliling hadir sebagai solusi, bahkan hingga kini,” ujar pria yang akrab disapa Wawan ini kepada Radar Surabaya.
Dominasi Wanita dari Jawa Tengah
Wawan menambahkan bahwa saat ini tukang jamu keliling didominasi oleh para wanita asal Jawa Tengah. Meski istilahnya tetap “jamu gendong,” cara berdagang mereka telah berubah. “Sekarang kebanyakan tidak lagi digendong, tetapi menggunakan gerobak dorong yang didesain simpel,” jelasnya.
Berdasarkan koleksi foto Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) maupun Tropenmuseum, keberadaan tukang jamu gendong sudah tercatat sejak awal abad ke-20. Foto-foto tersebut menunjukkan keberadaan profesi ini pada tahun 1900–1920-an. “Ini menandakan bahwa jamu gendong keliling sudah menjadi profesi sekaligus sarana kesehatan tradisional sejak lebih dari satu abad lalu,” ungkap Wawan.
Sejarah Panjang Jamu Tradisional
Tradisi meramu dan mengonsumsi jamu diyakini telah berlangsung selama berabad-abad. Dalam buku Jamu Gendong: Solusi Sehat Tanpa Obat terbitan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, budaya ini diperkirakan dimulai pada akhir periode Kerajaan Majapahit dan terus berkembang pada masa kerajaan-kerajaan berikutnya, termasuk Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Bukti sejarah keberadaan jamu tradisional tergambar dalam relief sejumlah candi, seperti Borobudur, Prambanan, Penataran, Sukuh, dan Tegalwangi. Selain itu, tradisi ini juga terdokumentasi dalam naskah kuno seperti Serat Centhini (1814 M) dan Kawruh Bab Jampi-Jampi Jawi (1858 M). Buku terakhir ini bahkan mencatat 1.734 resep jamu, menjadikannya salah satu dokumentasi terlengkap mengenai tradisi meramu jamu.
Awalnya, budaya meracik jamu hanya dikenal di lingkungan istana. Jamu diracik secara khusus untuk raja, permaisuri, pangeran, dan putri keraton demi menjaga kesehatan, kebugaran, dan kecantikan. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini mulai diperkenalkan kepada masyarakat luas oleh orang-orang dari kalangan keraton.
Di Surabaya, meski alat dan cara berdagang telah berubah, keberadaan tukang jamu gendong tetap menjadi penjaga warisan tradisional. Profesi ini tidak hanya menyokong ekonomi pelakunya, tetapi juga menjaga salah satu aspek budaya dan kesehatan tradisional Nusantara. (Red.D)
0 Comments