Jakarta, suarajatimonline - Ketegangan antara Ukraina dan Rusia semakin memanas setelah Ukraina menggunakan rudal jarak jauh buatan Amerika Serikat (AS), Army Tactical Missile System (ATACMS), untuk menyerang wilayah Rusia. Serangan tersebut terjadi pada Selasa (19/11/2024), menandai eskalasi baru dalam perang yang telah berlangsung selama 1.000 hari sejak 2022.
Menurut laporan Reuters, rudal ATACMS buatan Lockheed Martin Corporation, yang dikembangkan sejak era Perang Dingin, mampu mencapai target hingga 300 kilometer (km). Rudal ini dilengkapi dengan hulu ledak kelas WDU-18 seberat 226 kilogram, menjadikannya salah satu senjata yang sangat mematikan.
Rusia mengonfirmasi bahwa pasukannya berhasil mencegat lima dari enam rudal yang ditembakkan ke fasilitas militer di wilayah Bryansk. Meski demikian, puing-puing dari salah satu rudal menyebabkan kebakaran di lokasi tersebut. "Tidak ada korban jiwa atau kerusakan signifikan," kata Kementerian Pertahanan Rusia.
Media Ukraina mengakui serangan tersebut, menyebut targetnya adalah depot senjata Rusia sejauh 110 km di dalam wilayah pemerintahan Presiden Vladimir Putin. Namun, pihak militer Ukraina tidak secara terbuka mengonfirmasi jenis senjata yang digunakan. Sumber pemerintah Ukraina dan pejabat AS memastikan bahwa rudal ATACMS terlibat dalam serangan itu.
Eskalasi dengan Dampak Global
Keputusan Presiden AS Joe Biden untuk mengizinkan penggunaan ATACMS di wilayah Rusia dinilai sebagai langkah yang memicu eskalasi lebih lanjut. Rusia menganggap hal ini sebagai bukti keterlibatan langsung AS dalam perang tersebut.
"Penggunaan ATACMS ini menunjukkan bahwa Washington secara operasional mendukung serangan ke Rusia," kata Maria Butina, anggota parlemen Rusia. Ia menambahkan bahwa langkah ini dapat memicu dimulainya Perang Dunia Ketiga, yang akan membawa kerugian besar bagi semua pihak.
Sementara itu, pakar militer berpendapat bahwa penggunaan rudal AS untuk menyerang target jauh di dalam wilayah Rusia dapat memberikan keunggulan taktis bagi Ukraina. Namun, hal ini tidak dianggap mampu mengubah jalannya perang secara signifikan.
Ancaman Nuklir Rusia
Sebagai respons, Presiden Putin menandatangani doktrin nuklir baru yang menurunkan ambang batas penggunaan senjata nuklir untuk melindungi integritas wilayah Rusia. Langkah ini dianggap sebagai peringatan langsung kepada AS dan sekutu Baratnya.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menilai tindakan Rusia tersebut menunjukkan bahwa Putin tidak tertarik pada perdamaian. "Mereka mengajukan strategi senjata nuklir, bukan strategi perdamaian. Putin hanya menginginkan perang," ujar Zelensky.
Korban dan Dampak Perang
Hingga akhir Agustus 2024, PBB mencatat sedikitnya 11.743 warga sipil tewas dan 24.614 terluka di Ukraina akibat konflik ini. Namun, jumlah sebenarnya diyakini jauh lebih tinggi. Di sisi lain, Rusia dilaporkan mengalami kerugian militer yang jauh lebih besar, dengan ribuan tentara tewas dalam pertempuran sengit.
Dari sisi ekonomi, Ukraina mengalami kontraksi tajam pada 2022, meski mulai pulih pada 2023. Namun, ukuran ekonominya saat ini hanya mencapai 78% dari sebelum perang. Sementara itu, Rusia menghadapi lonjakan inflasi yang diperkirakan mencapai 8-8,5%.
Ketegangan yang terus meningkat ini menimbulkan kekhawatiran global tentang kemungkinan pecahnya konflik yang lebih luas, yang dapat menyeret negara-negara besar lainnya ke dalam pusaran perang. (Red.A)
0 Comments